Vrydag 22 Maart 2013

Pasrah

Inge,37 tahun, istri yang baik yang bagi Aldi, 42 tahun yang sudah 7 tahun dalam perkawinan mereka hidup sederhana saja. Inge bekerja dan menerima suaminya yang bekerja partime sebagai guru futsal di sekolah dengan gaji yang tidak melampaui batas UMR yang ditentukan Jokowi. Gaji Inge di perusahan setelah sepuluh tahun mengabdi sudah sampai empat juta, maka dirasa cukup untuk membiayai kebutuhan keluarga dan kedua anak mereka. Inge tahu keadaan rumah tangga mereka masih lebih baik dari pada rumah tangga kebanyakan. Ada temannya yang hancur rumah tangganya, bercerai karena suaminya menyerah pada kenyataan, tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup temannya itu. Karena itu Inge tak berprinsip, ada uang abang disayang, tak ada uang abang ditendang. Biarlah cerai, toh yang penting tenang. Tak mau menanggung suami yang pengangguran apalagi penyakitan. Dan Inge tetap merahasiakan pribadi-pribadi teman sebayanya yang memang punya gaya hidup modern, komersial dan jauh dari rasa sosial, kepada suaminya agar Aldi, suaminya itu tidak tersinggung. Kemudian Inge pun berharap Aldi berterus terang pada segenap upayanya demi mencukupi kebutuhan anak-anaknya. Walau begitu, Inge tidak bisa menyalahkan kalau Aldi selalu berusaha mencari tambahan penghasilan, jadi pemain bola tarkam, alias dibayar oleh suatu organisasi sepakbola kampung yang sering melakukan pertandingan eksibisi atau kompetisi di daerah lain. Bahkan, pendapatan Aldi ditambah pula dengan kebisaan Aldi di bidang olahraga lainnya yang disukai anak-anak modern, yaitu sepatu roda. Aldi merasa hanya itulah yang bisa dijadikan sarana rejeki dari Tuhan, dan diharap Inge jangan menuntut banyak padanya. Inge tetap Inge yang akhirnya harus memaklumi permenungan suaminya terhadap perjalanan teman hidupnya itu. Aldi memang anak yang dimanjakan orang tuanya. Hidup sederhana, tidak bisa berbuat banyak untuk beli rumah, sehingga mengajak Inge dan anak-anak tinggal di rumah orang tua Aldi. Tetapi Aldi punya banyak saudara. Namun sayangnya, kelima saudara Aldi tak begitu perhatian kepada kedua orangtuanya, sehingga demi rasa kasihan pada orang tua Aldi menerima tawaran bapak Aldi, Sayogo dan Ibu Netty untuk tinggal bersama. Aldi bukan anak pertama, namun juga bukan anak bungsu, tetapi anak di tengah, anak ke empat. Aldi sayang pada orang tuanya dan tahu kalau dia tidak mampu menyenangkan orang tuanya dengan menjadi sarjana penuh, pada kuliahnya yang sudah diusahakan biayanya itu dari menjual tanah bapaknya. Sayangnya ketiga kakak Aldi, kurang suka pada Aldi. Mereka memang juga bukan orang yang sukses, hidup di Jakarta sebagai kontraktor, alias pindah-pindah rumah, kontrak setahun, atau bulan berbulan, menggasih uang pada pemilik rumah kontrakan. Kedua adik Aldi berhasil, bisa membeli rumah salah satu proyek Perumnas dan salah satu rumah kompleks buatan perusahaan real estate. Ibu pun meninggal dunia saat anak Aldi yang pertama baru dua bulan. Bapak semakin sayang pada Aldi dan istri Aldi, hingga mewasiatkan rumah untuk dimiliki Aldi. Inge sendiri heran akan pernyataan beliau. Memang kematian Ibu Aldi, Ibu Netty, pada saat Aldi sendiri belum bisa banyak berbuat dengan penghasilannya yang sangat kecil, dia tidak bisa mengeluarkan uang patungan dengan saudaranya buat biaya kubur Ibu dan pernak-perniknya. Bapak yang dulu galak, otoriter, juga semakin lemah, karena mengakui setelah kehilangan ibu, pendamping hidupnya, dia seperti enggan bahagia. Dulu ia sangat bersemangat, mengajak cucu-cucunya jalan-jalan. Tetapi kini, di mata Aldi dan Inge, bapak seperti tak mau lagi menyenangkan diri. Kemudian pada tahun berikutnya, sakit bapak semakin parah. Bapak meminta agar anak-anaknya datang. Namun semuanya sibuk. Bapak tiba-tiba ingin jalan-jalan lagi. Aldi menyetujui, Inge pun bersedia menemani bapak. Tempat yang disukai Bapak Sayogo adalah Monas dan Senayan. Bapak ditemani Aldi dan Inge dengan naik busway. Pokoknya itulah bagian hidup terakhir Bapak. Karena setelah pulang, malam harinya, Aldi dan Inge melihat nafas bapak satu-satu. Kelima saudara Aldi mulai ada yang bermunculan. Dan Aldi terdiam ketika si Bapak berkata dalam desahan terakhirnya di depan kakak sulung Aldi, “Ingat ya, apa yang sudah bapak katakan, jangan dilanggar.. Bersatulah, dan kalau bisa kerjasamalah. Sebab beban hidup kalian semakin hari semakin berat..” Bapak meninggal, saat anak kedua Aldi tujuh bulan. Tentu anak pertama Aldi, Sania yang merasakan bagaimana kasih sayang kakeknya. Anak kedua Aldi jelas belum tahu, siapa kakeknya yang menghembuskan nafas terakhir di rumahnya dalam usia 77 tahun. Aldi juga tidak bisa meneteskan air mata, tetapi dia baru menangis raung-raung keesokan harinya, setelah jasad bapak sudah masuk liang lahat. Hari-hari berganti, keputusan para saudara Aldi menguat pada satu titik. Rumah Bapak harus dijual, uangnya harus dibagi rata. Sementara Aldi baru saja merencanakan pembenahan pada kamar bapaknya untuk mempersilahkan kakak sulungya tinggal bersama keluarganya. Namun apa daya, justru kakak sulungya itu yang punya niat menjual rumah bapaknya. Aldi kesal. Tetapi ke empat saudara yang lain juga bersepakat ingin memiliki uang dari hasil penjualan rumah itu. Aldi tercekat, kenapa ini harus terjadi. Aldi belum punya rumah seperti kedua adiknya. Aldi juga tidak tahu akan dibawa kemana istri dan kedua anaknya. Inge pun juga pernah berjanji tidak akan tinggal bersama kedua orang tuanya, karena Inge memilih menikah dengan Aldi, bukan dengan lelaki pilihan bapaknya. Susah sekali, hidup rumah tangga ini. “Kak.. kita pasrahkan saja pada Tuhan. Kita relakan rumah bapak, karena mereka membutuhkan..” urai Inge menasihati suaminya. “Ya, pasrah, mengalah. Mereka tak pernah memikirkan nasib kita kemudian hari..” sambut Aldi sambil menghela nafasnya. Memang keputusan itu harus terjadi. Orang yang mengincar rumah Aldi sudah sering menekan kakak Aldi untuk dibeli olehnya. Apalagi, kakak Aldi punya hutang pada orang itu. Sakit hati bukan, kalau niat si kakak dan saudara lain, tanpa peduli pada Aldi yang sudah setia menemani kedua orangtuanya, dari sehat, sakit dan meninggal dunia. “Apalah artinya uang dua ratus juta sekarang. Kalian jahat, sentimen padaku.” “Heh, lo enak-enakan tinggal di rumah bapak, elo sadar dong, kesusahan saudara cari duit buat kontrak..!” Itulah ucapan Aldi yang malah dibalas dengan semprotan kata-kata adik Aldi yang membela kakaknya. Aldi akhirnya mengikuti apa yang dikatakan Inge istrinya, yaitu pasrah. Tak usah lagi berdebat, mengutuk ke lima saudaranya, tak baik juga. Malah justru harus mendoakan mereka, supaya kehidupan Aldi bersaudara semakin hari smeakin baik, juga tetap bersatu.. “Tuhan, kuatkan iman, kami semua. Jangan kami stress, hingga jadi gila. Tolonglah Tuhan..” Inge mengajak Aldi ke rumah orang tua Inge. Rupanya kedua orang tua Inge, bersedia menyambut anak dan menantunya serta juga kedua cucunya. Tanda mereka mempunyai belas kasih yang rindu pula untuk dikunjungi Inge anak bungsu mereka serta para cucu yang cantik-cantik itu.

Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking