Vrydag 22 Maart 2013

Hadiah Bunda

Hei, namaku Lian. Berlian Lavender tepatnya. Pagi ini, aku siap untuk berangkat ke sekolah. Kulihat makanan lezat berjejer-jejer menungguku dengan bau lezat mereka. Bunda sudah menunggu sambil tersenyum padaku. Aku membalas senyumannya. “Selamat pagi, Bunda!” sapaku ceria sambil duduk di salah satu kursi. “Selamat pagi, Lian. Wah, sudah rapi dan ceria. Tinggal sarapan dan pergi menuntut ilmu,” Bunda lalu mengambilkanku nasi. “Bunda, biar Lian saja yang mengambil makanan!” Cegahku. Bunda akhirnya menyerah. Beliau lalu akhirnya mengambil sendiri makanannya. Tiba-tiba, Ayah datang. “Lian, ayo berangkat!” Seru Ayah. Aku menjawab dengan mulut penuh, “iya, Ayah.” “Hush, Lian. Ditelan dulu!” Tegur Bunda. Aku tertawa kecil dan menghabiskan makananku, lalu berlari keluar menuju mobil Ayah setelah sebelumnya berpamitan dengan Bunda. Ayah lalu menancap gas, dan mobil melaju dengan cepat. Tak sampai sepuluh menit, penglihatanku telah menangkap bangunan tua sekolahku. ‘SD Tunas Harapan’ ditulis dengan besar menghiasi sekolah. Aku berpamitan pada Ayah, dan masuk ke kelas. “Lian, sudah siap untuk Ulangan Matematika?” Tanya Zahra, sahabatku. Aku mengerutkan kening, “Ulangan Matematika?” Zahra mengangguk cepat, “iya! Ulangan mendadak! Bagaimana ini? Aku belum belajar!” Jujur, aku sangat panik. Tapi, aku harus terlihat tenang supaya Zahra juga tenang, “Zahra, tak apa-apa. Ayo kita belajar saja.” Kami pun belajar. Beberapa lama kemudian, bel berdering dengan nyaring. Aku duduk di bangku sebelah Zahra. Bu Yusti memasuki kelas. “Berdiri! Beri salam!” Teriak ketua kelas. “Selamat pagi, Bu Yustin!” Koor anak-anak. Bu Yustin pun mengisyaratkan kami untuk duduk, dan kami duduk. “Nah, anak-anak, saya pikir kalian sudah tahu bahwa hari ini akan diadakan Ulangan Matematika mendadak. Ibu akan membagikan soal ulangan pada kalian, kerjakan dengan teliti.” Bu Yustin pun membagikan soal Ulangan Matematika pada kami semua. Aku mulai fokus mengerjakan. Aku pasti bisa! Doakan aku, ya, Teman! Sejam kemudian… “Anak-anak, waktu habis! Selesai tidak selesai dikumpulkan!” Seru Bu Yustin. Aku menghela napas berat, dan mengumpulkan jawabanku. Kalau nilaiku jelek, aku mengecewakan Bunda. Aku jadi teringat ketika nilai Ulangan Sosial-ku dapat jelek. Memang Bunda tidak marah. Tapi, ia terlihat kecewa, dan membuatku tidak enak. “Kalian boleh istirahat. Ibu usahakan, sehabis istirahat ibu selesai menilai ulangan kalian,” ujar Bu Yustin. Kami lalu berdoa, dan beristirahat. “Lian, bagaimana ini? Aku takut nilaiku jelek,” ucap Zahra lirih. “Zahra, jangan panik. Aku yakin nilaimu pasti bagus. Optimis, jangan pesimis,” hiburku tak yakin. Zahra tersenyum singkat, “iya.” Tak lama, bel tanda masuk berbunyi. Anak-anak berbaris dan memasuki kelas, lalu berdoa. “Anak-anak, ibu akan bacakan nilai kalian,” ucap Bu Yustin. Aku berdoa-doa dengan cemas. “…Mimi, 90. Riko, 75. Yunda, 88. Zahra, 91. Lian, 60,” kata Bu Yustin. Aku terpaku. ‘Lian, 60,’ kata-kata Bu Yustin terngiang-ngiang di otakku. Oh, tidak.. Aku mengecewakan Bunda. “Bagi yang menjalani remidial, harap datang pada hari Sabtu di kelas masing-masing. Selamat siang,” Bu Yustin lalu pergi. “Lian! Aku dapat 91! Asyik!” Seru Zahra gembira, “hmm, sabar, ya, Lian. Kamu pasti bisa menjalankan remidial dengan baik.” Aku tersenyum kecut, “terimakasih doanya.” Aku menjalani hari dengan malas. Sampai ketika pulang, Bunda menungguku di mobil. “Lian Sayang, bagaimana harimu? Ohya, Bunda dengar, ada Ulangan Matematika mendadak, ya? Kamu bisa mengerjakannya?” Tanya Bunda. Oh, kenapa jadi seperti ini? “Hmm, nilai Lian…” “Berapa, Nak?” Tanya Bunda tak sabar. “Nilai Lian 60! Lian remidial!” Aku menutup mata dan telinga. Tidak ingin melihat atau mendengarkan Bunda. “Apa? Lian, kamu bagaimana, sih? Seharusnya kamu mendapat nilai bagus!” Seru Bunda. Hei! Bunda.., marah? Padaku? “Bunda marah, ya? Lian minta ma-” “Maaf? Lian, kamu hanya berani meminta maaf. Maaf, maaf, dan maaf!” Seru Bunda. Aku ingin menangis saat ini. Aku memasuki mobil dengan cepat. Mobil pun melaju kencang. Kami berdua hanya diam dalam perjalanan. Aku takut. Aku takut Bunda membenciku. >>> Aku terbangun di pagi yang cerah. Aku lalu bersiap-siap dan sarapan. Kulihat Bunda sedang merajut. “Selamat pagi, Bunda,” sapaku hangat. Bunda menoleh sejenak, lalu membuang muka, “selamat pagi.” Aku menghela napas. Padahal, aku rindu senyuman Bunda. Aku lalu melahap sarapan dan pergi ke sekolah setelah berpamitan. “Lian, ayo cepat!” Seru Ayah. “Iya, Ayah! Ini sudah cepat!” Keluhku. Mobil Ayah pun melaju kencang. Sesampai di sekolah, aku segera berlari menuju kelasku. BRAK! “ARGH!” Jeritku. Kelas gelap, dan kakiku tersandung meja, “Zahra?” Hmm, aneh. Biasanya Zahra datang cepat dan pagi. Lalu.., kenapa kelas gelap? Aku benar-benar tidak mengerti! Aku lalu berusaha mencari-cari kursi. Dan.., dapat! Aku lalu mendudukinya. Tepat saat aku duduk, tiba-tiba lampu menyala dan.., “HAPPY BIRTHDAY, LIAN!” Aku terpaku di tempat. Ini, kan.., tanggal 9 Maret! Ulangtahunku! Di meja yang berada di hadapanku, sudah ada kue tar yang menggiurkan. Ada teman-teman termasuk Zahra, Bu Yustin, Ayah.., dan Bunda! Ya, Bunda! Ia tersenyum hangat padaku. “Selamat ulangtahun, Nak,” Ayah memelukku dan memberiku hadiah ulangtahun. Aku membukanya, dan menemukan sebuah i-Pad. Keren! “Bukalah,” Bunda memberiku kado. Aku membukanya. Dan aku kaget. Album foto? Aku lalu membuka album foto itu. Foto pertama, foto Bunda terbaring di ranjang dengan bayi yang berada di gendongannya. Ada tulisan tangan di sana; ‘Anakku Berlian Lavender ketika lahir’. Foto kedua, aku yang masih sangat kecil dan lucu, tertawa riang di samping Bunda dengan latar bangunan sekolah. Lagi-lagi ada tulisan tangan; ‘Berlian Lavender ketika memasuki Taman Kanak-Kanak’. Foto ketiga, aku bersama Zahra dan keluargaku di depan kue tar bertuliskan ‘Happy Birthday 5th to Berlian Lavender’. Dengan tulisan tangan; ‘Berlian Lavender 5 tahun’. Foto keempat, aku sakit demam dan ada Bunda yang menemaniku. Aku ingat betul ini. Ini kejadian setahun lalu! Ada tulisan tangan; ‘Berlian Lavender-ku, cepatlah sembuh!’. Dan aku membolak-balikkan halaman album. Tidak ada foto lagi. Tapi ada sepucuk kertas. Isinya: ‘Selamat ulangtahun, Lian. Maaf Bunda hanya bisa memberi ini untukmu. Untuk halaman lain, kamu bisa menambah fotomu sendiri. Mungkin ketika kamu akan lulus, atau menikah. Atau dengan anak-anakmu nanti. Bunda hanya bisa memberimu Album Perjalanan Hidup Berlian Lavender, dan.., selamat ulangtahun.’ Aku tak tahan lagi. Aku pun memeluk Bunda dan menangis. Tiba-tiba, suara Bu Yustin menggema. “Ulangan Matematika, Lian, 95!” Seru Bu Yustin. Aku melepas pelukanku dari Bunda, “a-apa?” Bu Yustin tersenyum, “ini sudah rencana, Lian.” Aku menangis lagi, “terimakasih, semuanya!” Tiba-tiba Zahra datang dan memberiku kado, “Lian, selamat ulangtahun. Ini buat kamu.” Semua teman-teman pun memberi selamat dan kado. Aku tak sanggup menahan rasa haru. Terimakasih, teman-teman. Terimakasih, Zahra. Terimakasih, Bu Yustin. Terimakasih, Ayah. Terimakasih.., Bunda. Hadiah Bunda akan selalu kujaga. Terimakasih, semuanya.

Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking