Vrydag 22 Maart 2013

Ayah

Matahari menarik kembali sinar-sinarnya dan digantikan oleh sinar sang rembulan. Malam yang terasa kelam dan redup meski sebenarnya malam ini cerah. Namun hati yang risau ini membuat menjadi kelam. Aku terdiam di teras rumah sembari mendengar kan lagu yan berjudul “Ayah” seakan-akan lagu ini menjadi soundtrak dalam potongan film yang sedang aku perankan malam ini. Dimana akan kucari Aku menangis seorang diri Hatiku selalu ingin bertemu Untukmu aku bernyanyi Untuk ayah tercinta Aku ingin bernyanyi Walau air mata dipipiku Ayah Dengarkanlah Aku ingin berjumpa Walau hanya dalam mimpi Lihatlah hari berganti Namun tiada seindah dulu Datanglah aku ingin bertemu Denganmu aku bernyanyi Untuk ayah tercinta Aku ingin bernyanyi Walau air mata dipipiku Ayah Dengarkanlah Aku ingin berjumpa Walau hanya dalam mimpi Lagu ini terus ku putar berulang-ulang. Karena lirik nya yang begitu mendalam dan inti dari cerita lagu itu sama seperti apa yang kurasakan saat ini yang merindukan masa-masa yang indah saat keluarga ku utuh. Di mana setiap aku terbangun dari lelapnya tidur ku aku selalu mendengar suara Ayahku yang selalu menginggatkan ku untuk sholat subuh. Namun kini aku tak bisa merasakan itu lagi, setiap aku terbangun dan terjaga dalam tidurku tak lagi ku dengar suara Ayahku yang selalu sabar dalam menginggatkanku. Entah pergi kemana semua masa-masa itu dan mungkinkah akan kembali. Semua kata-kata itu terus berbicara keras dalam hatiku. Tak sadar aku larut dalam lamunan yang membawaku menyusuri lorong waktu yang panjang menuju ke suatu masa ketika Ayahku akan di bawa ke Jogja. Waktu itu aku baru pulang sekolah, tiba-tiba sudah ada banyak orang yang datang kerumahku, hatiku bertanya-tanya apa yang sedang terjadi di rumaku, tanpa fikir panjang aku pun mempercepat langkahku. Hingga akhirnya aku sampai di rumah dan aku bertemu dengan Ibu ku. “Bu, apa yang terjadi? Dengan nafas yang terengah-engah “Kak… Ayahmu harus di bawa ke Jogja untuk dirawat, karena di kota ini tak sanggup lagi merawat Ayahmu.” “Aku ikut ya Bu…” sambil memegang tangan ibu dan dengan suara yang memaksa “Kamu di sini aja kak sama adikmu Uki, kamu kan harus sekolah biar nanti naik ke kelas 4” dengan senyum dan mata yang mulai berkaca-kaca. “Tapi bu…” Belum selesai aku bicara Ibu sudah memotong pembicaraanku. “Jangan khawatir pasti kamu mau nanya nanti kamu tinggal sama siapa kan?” “Iya bu” “Nanti kamu tinggal bersama pamanmu” “Tapi bu paman kan sering pulang malam dan pulang dengan keadaan mabuk?” “Ibu sudah nasehatin paman supaya tidak pergi malam, dan fokus untuk menjaga kamu dan Uki.” Rasa di hatiku tetap ada yang mengganjal dan rasanya aku ingin ikut, untuk menemani Ayah berjuang melawan penyakitnya. Dan aku pun terus membujuk Ibu agar mengijinkan ku untuk ikut. Namun ibu tetap tidak mengijinkanku ikut. Ibu pun mulai meninggalkanku dan menyiapkan berbagai keperluan yang di perlukan oleh Ayahku di Jogja nantinya. Tak lama kemudian seseorang datang menuju ke arahku dan menepuk pundak ku dan ternyata adalah pamanku yang akan mengasuhku. “Yang sabar kak, ini semua cobaan dari Allah” sambil menepuk pundaku “Iya paman, tapi aku ingin ikut” dengan air mata yang mulai mengalir “Di sini saja sama paman, paman akan menjagamu, nanti kalau kamu ikut ke sana kamu hanya akan menambah beban Ibu mu yang harus merawat Ayahmu.” “Iya paman, kenapa ini semua harus terjadi di dalam hidupku?” dengan nada agak marah “Ini semua kehendak Allah” Tak pernah ku sangka Paman mempunyai hati yang baik, sebelumnya aku telah menilai bahwa paman orang nya kasar dan tak memiliki hati sebaik ini. Semua kata-katanya sedikit demi sedikit dapat di cerna hatiku dan mengikis keinginan ku untuk ikut ke Jogja. Tak lama kemudian mobil yang akan membawa Ayahku ke jogja datang. Ayahku pun keluar dari kamar dengan raut wajah yang pucat dan badan yang kurus. Ayah pun berjalan dengan gontai menuju ke arahku yang sedang duduk terdiam yang masih memakai seragam sekolah merah putih. “Kak, jaga adik mu ya?” “Iya yah” jawabku dengan air mata yang kembali mengalir deras dengan kepala tertunduk. Ayah pun mulai memegang kepala ku dan di angkat kepalaku sehingga mataku dan matanya kini saling bertatapan. “Kak, kakak ndak usah nanggis.” “Tapi yah, penyakit Ayah kan berarti cukup serius, sehingga harus di rawat di jogja” “Ayah pasti sembuh kog, kakak di sini jangan lupa sholat dan berdoa supaya Ayah cepat sembuh” “Pasti yah, kakak dan uki ngak akan lupa untuk berdoa” “Sebelumnya Ayah minta maaf ya? Nggak seharusnya kamu dan uki harus mengalami cobaan seberat ini di usia mu yang masih kecil, dan Ayah ngak bisa membahagiakan kamu seperti teman-teman mu yang lain” dengan mata yang mulai berkaca-kaca “Ngak papa yah, yang penting sekarang Ayah sembuh dulu” “Iya” Ayah pun memeluk ku dengan erat, sungguh aku belum pernah merasakan pelukan hangat dari Ayah sejak dulu karena Ayah adalah orang yang tegas dan galak di mata aku dan uki, air mata pun mengalir semakin deras membasahi pipi. Dari ke jauhan ada yang berlari menuju arahku dan Ayah yang sedang berpelukan dan ternyata itu adalah Uki, adiku yang baru pulang bermain. “Ayah… ayah mau kemana dengan ibu?” sambil memeluk ibu Ibu pun mendekati Uki dan menjelaskan apa yang terjadi. “Dek… Ibu harus mengantar Ayah berobat ke jogja” “Adek, ikut ya?” “Adek di rumah aja dengan kakak, adek kan harus sekolah biar naik kelas” “Bu… tapi… bu…” jawab adek dengan menangis dan merengek Sembari ibu sedang menjelaskan kepada Uki, sopir yang akan mengantar Ayah ke jogja sudah siap dan memotong pembicaraan Ibu dengan uki. “Maaf bu, mobil sudah siap” “Ya, pak sebentar” Ibu pun akhirnya mengakhiri penjelasanya dengan Uki, tapi Uki tetap saja tidak bisa menerima, mungkin karena ia baru berusia 8 tahun. “Pak, mobil sudah siap” kata ibu kepada ayah “Iya bu” Ayah pun merangkul Aku dan uki dengan erat, kembali air mata menetes dengan deras. Ibu dan orang-orang yang berada di rumah ku pun ikut larut sedih melihat kejadian ini. Tak lama kemudian Ayah melepaskan pelukannya, dan mencium kening ku dan Uki sambil mengelus-elus rambut kami berdua, dan Ayah pun sempat berkata. “Kalian ingat dengan kata mutiara dari Kahlil Gibran, Manusia tidak dapat menuai cinta sampai dia merasakan perpisahan yang menyedihkan, dan yang mampu membuka fikirannya, merasakan kesabaran yang pahit dan kesulitan yang menyedihkan.” “Iya yah ingat” jawab serentak aku dan uki sambil menangis “Inilah cinta sebenarnya Ayah terhadap kalian berdua walaupun terkadang Ayah di mata kalian adalah orang yang menyebalkan” Ayah memang seorang yang suka dengan Kahlil Gibran dan Ayah juga sering menceritakan tentang syair-syair ataupun kata-kata mutiara yang di buat oleh Kahlil Gibran, karena kata Ayah, Kahlil Gibran dulu waktu masih kecil juga hidupnya penuh kesedihan, namun ia tetap tegar dan tabah dalam menghadapi cobaan yang di hadapinya. Cerita itu di ceritakan Ayah agar aku dan uki bisa menjadi manusia yang kuat dalam menghadapi cobaan hidup. Aku sempat membaca sepenggal kata mutiara yang di buat oleh Kahlil Gibran dalam menghadapi cobaan di hidupnya, “Tanpa kehadiran bencana, kerja dan perjuangan tidak akan terwujud, dan hidup akan menjadi dingin, mandul dan membosankan.” Dan sepenggal kata mutiara ini menjadi kekuatan tersendiri dalam hidupku. Ayah dan Ibu pun bergegas meninggalkan ku dan masuk ke mobil, dan akhirnya mobil pun berjalan meninggalkan rumah ku dan melalui kaca mobil aku melihat Ayah dan Ibu melambaikan tangan. Tangis ku kan Uki pun semakin keras. Paman ku yang berada di samping ku pun mencoba menenangkan ku dan mengajak kami masuk. “Sudah-sudah Ayah dan Ibu mu pasti akan kembali dalam 3 hari kedepan, ayo masuk ke dalam aja, udah hampir maghrib.” Sambil memegang tangan kami berdua dan mengajak masuk ke dalam “Yang bener paman…?” tanyaku dengan spontan “Iya” Akhirnya kami berdua masuk ke rumah dengan keadaan tubuh yang lemah serasa semua energi ku telah tercurahkan untuk kejadian yang menguras air mata tadi. Tiga hari pun berlalu, namun Ayah dan Ibu tak kunjung kembali, aku pun menanyakannya kepada paman. “Kog Ayah dan Ibu belum pulang ini kan udah tiga hari paman?” tanyaku yang sedikit kesal karena merasa di bohongi “Eeemmm, eeemmm…” jawab paman dengan perasaan bingung “Jawab paman, paman pasti bohong kan kemarin?” “Jadi gini sebenarnya kak, waktu ibu mu meminta paman untuk menjaga kalian berdua ibu mu berpesan kepada paman untuk mengatakan bahwa Ayah dan Ibumu akan pulang dalam tiga hari agar kalian tenang, dan ini ada surat yang kemarin di kirim ibumu belum sempat paman buka.” Aku pun memngambil surat yang di berikan oleh paman dan tanpa fikir panjng surat itu pun aku buka. Salam rindu untuk kedua anak ku Gimana kabar kalian? Semoga sehat dan jangan sedih ya? Ibu yakin kalian adalah anak-anak Ibu yang kuat. Ibu dan Ayah di sini Alhamdulillah baik, keadaan Ayahmu semakin membaik, dan besok Ayah akan menjalani operasi besar, karena ayah terkena tumor usus besar, doain Ayah ya? Semoga operasinya lancar. Sekian dulu aja ya, besok Ibu akan kabari lagi. Ibu sayang kalian berdua. Tanpa tersadar air mata ku pun kembali menetes membasahisi surat yang di kirim oleh Ibu. Paman bertanya ke pada aku. “Kenapa nanggis? Gimana isinya?” Aku tak berkata apa-apa aku hanya memberikan surat ini keepada paman. Paman pun membacanya dengan seksama. Tak lama kemudian paman mencoba menenangkan aku. “Sudah, sebaiknya kita berdoa aja, semoga operasi nya besok lancar” “Iya paman” Dua hari berlalu aku pun menerima surat dari ibu lagi. Salam rindu untuk anak ku tercinta Gimana kabar kalian masih sehat kan? Dan ngak lupa gimana seolah kalian lancar kan? Ibu kangen banget lho sama kalian berdua, gimana kalian kangen ngak sama Ibu dan Ayah? Ibu mau memberi kabar baik kalau Ayahmu operasinya lancar, dan kemungkinan tiga hari kedepan sudah boleh pulang. Dan kita berempat akan berkumpul lagi. Sekian dulu ya surat dari Ibu, besok Ibu kabari lagi. Ibu sayang kalian berdua Aku pun spontan sujud syukur, dan paman ku yang melihatku melakukan sujud syukur bertanya-tanya apa yang di lakukan sama anak ini. “Kak ada apa? Kog sujud segala” “Ayah operasinya sukses, dalam tiga atau lima hari kedepan ayah sudah boleh pulang” “Alhamdulilah, ini semua berkat doa mu” “Ini semua berkat doa kita semua paman” jawab ku dengan senyuman Dua hari berlalu, serasa kebahagiaan akan menghinggapi hatiku karena esok Ayah akan pulang dan keluargaku akan kembali utuh. Namun tiba-tiba ada suara sirine ambulance terdengar di depan rumah, sontak aku, paman, dan uki pun pun keluar rumah dan melihat. Dan seorang perempuan pun keluar dari ambulance dengan wajah yang sedih dan matanya yang lebam, dan ternyata itu adalah ibu ku. “Ada apa bu? Apa yang terjadi?” serentak aku dan uki bertanya “Ayahmu nak…” dengan tangis yang semakin keras “Ada apa bu dengan Ayah?” “Ayahmu… ayahmu… telah tiada” dengan nafas yang sedikit berat Aku, uki, dan paman seakan tidak percaya dengan semua perkataan ibu, sontak tangis pun tumpah seketika. Aku terpekur. Sekujur tubuhku terasa lemas, seakan semua tenagaku lenyap. Dengan perlahan peti mati pun keluar perlahan dari ambulance. Aku merasa tak kuat, aku pun jatuh dan terasa tertidur. Setelah bangun dari pingsanku, kepalaku terasa agak pusing, namun fikiranku langsung tertuju kepada Ayah. Aku pun berlari menuju ruang tamu yang di jadikan tempat meletakan jasad Ayah, di sana ternyata aku sudah mendengar alunan ayat suci Al-Qur’an yang menggema, dan orang-orang sudah berdatangan untuk melayat. Ibu pun segera menghampiriku dan membesarkan hatiku, meski ku tahu ibu juga menyimpan rasa sedih yang begitu dalam namun semua itu ibu simpan dan tidak ia perlihatkan kepada anak-anaknya. Aku pun mencari adik ku uki, ku tak tahu berapa dalam kesedihan yang ia rasakan. Ia ternyata berada dalam dekapan pamanku, ia terus menerus menanggis. Sungguh ku tak sanggup melihat tangis itu, hati ku terasa pilu dan dada ku penuh rasa haru. Matahari pun semakin meninggi, prosesi pemakaman pun segera di mulai, jasad Ayah yang terbujur kaku pun mulai di tandu oleh berapa orang dan di masukan ke dalam Ambulance, untuk menuju ke pemakaman yang jaraknya lumayan jauh. Setelah tiba di pemakaman, jasad Ayah pun perlahan mulai di masukan ke dalam liang lahat dengan hati-hati. Dan akhirnya tanahpun benar-benar mengubur Ayah, tangis pun kembali tumpah diantara kami sekeluarga. Taburan buka dari Ibu sambil menangis tersedu-sedu, semakin menambah rasa haru. Tiba-tiba adik ku meletakan sebuah kertas diatas makam Ayah, yang ternyata sebuah pesan yang ia tuangkan kepada Ayah. Ayah… Ayah jaga diri baik-baik ya di sana, adek, kakak dan Ibu akan selalu mendoakan Ayah di sana. Ayah jangan lupa ya? Dengan Aku, Kakak, dan Ibu, sering-sering maen ke rumah untuk menengok kami yah? Karena kami akan selalu merindukanmu. I love you, kami kan merindukanmu selalu Kertas itu pun penuh dengan air mataku, yang tak kuasa menahan rasa haru atas ungkapan dari secarik kertas yang di goreskan oleh adik ku. Setelah pemakaman selesai Ibu menceritakan kepada ku tentang kejadian mengapa Ayah meninggal. “Kak sebenarnya operasi Ayah berhasil namun satu hari setelah operasi tiba-tiba kondisi Ayah drop karena menurut dokter Ayah tidak hanya mengidap penyakit tumor usus namun Ayah juga mengidap penyakit Jantung yang sudah parah, namun selama ini Ayah tak pernah cerita, memang sempat Ayah mengeluh merasakan nyeri di dadanya, namun Ayah hanya menanggap biasa.” “Sifat Ayah memang begitu bu, tak ingin orang lain resah, ia lebih suka memendam apa yang ia rasakan sendiri”.

Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking